Selasa, 30 April 2013

Biaya Politik Mahal, Korupsi Tetap Merajalela

Biaya Politik Mahal, Korupsi Tetap Merajalela - Biaya politik yang cukup mahal dalam pemilu legislatif (pileg) merupakan akar dari meningkatnya korupsi. Biaya politik tetap meningkat di pileg 2014 juga menyebabkan korupsi akan tetap ada.

Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai biaya politik yang mahal tersebut memang diakui oleh sejumlah anggota DPR yang kembali menjadi caleg untuk pileg 2014. Mereka harus menyiapkan uang Rp1 miliar hingga Rp6 miliar.

Karena itu, partai politik (parpol) juga berusaha untuk mencari orang-orang berduit untuk dicalonkan. "Trennya parpol cari orang berduit untuk dicalonkan. Apakah itu uang pribadi, maupun dari perusahaan. Bahkan ada yang mengaku membiayai caleg dengan perjanjian ketika terpilih mengakomodir kepentingan pemodal," ujar Sebastian dalam acara diskusi kemandirian bangsa keenam dengan tema "Mencegah Dana Asing dan Dana Haram pada Pemilu 2014" di Tebet, Jakarta Selatan, Senin (29/4).

Hal yang menarik, menurut, Sebastian, orangiorang yang berduit yang akan masuk parlemen akan penuh dengan kepentingan. Misalnya mengadakan proyek atau mengamankan pemilih perusahaan atau korporasi. Dengan demikian, sangat masuk akal kalau terdapat puluhan undang-undang yang sarat kepentingan asing atau korporasi. Apalagi, dengan sistem politik yang sangat mahal dan besar sekarang ini.

"Lalu parpol mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Itu kan bahaya, karena pada akhirnya mereka yang menentukan arah kebijakan parpol," tuturnya.

Selain itu, berdasarkan perkiraan Sebastian jika rata-rata seorang caleg membutuhkan dana sekitar Rp6 miliar tentu pengeluaran sebesar itu tidak bisa ditutupi dengan gaji 5 tahun menjabat sebagai anggota DPR.

"Logika tiap bulan gaji Rp60 Juta, tiap tahunnya sekitarRp 700 jutaan. Selama lima tahun sekitar Rp3 miliaran. Dengan cara seperti itu, banyak anggota DPR yang bermain di izin-izin proyek pertambangan dan perkebunan," kata Sebastian.

Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, mahalnya biaya politik di Indonesia karena tidak ada batasan besarnya dana kampanye untuk caleg dan parpol. Menurutnya, bila dana kampanye tidak dibatasi jelas akan mendorong sistem politik yang bebas, parpol yang memiliki akses terhadap kekuasaan, memiliki kebebasan menggunakan sumber daya yang tidak terbatas untuk meraih dukungan politik dari rakyat.

Kebutuhan pendanaan yang sangat besar menyebabkan parpol belomba-lomba mengakses sumber dana termasuk dari sumber haram dan pendanaan dari pihak asing. "Modus yang sering ditemukan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merampok anggaran negara, baik dalam APBN maupun APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)," pungkasnya.

Sedangkan Direktur Institut Hijau Indonesia (IHI) Chalid Muhammad, mengatakan, hampir seluruh Pemilukada, Pileg DPR dan DPRD, dan Pilpres mengandalkan dananya dari eksploitasi sumber daya alam (SDA).

Chalid bahkan menduga, para simpatisan, pengurus, sampai ketua umum parpol ikut terlibat dalam eksploitasi SDA. "Kalau dilihat secara parpol, ini adalah mereka yang ikut dalam Pemilukada. Setiap peristiwa politik di daerah beriringan dengan naiknya izin usaha, misalnya di sektor pertambangan," ujarnya.

Berdasarkan kajian Chalid dari 40 orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes hampir semuanya diuntungkan dengan sistem politik yang berlangsung saat ini. Caranya, yakni terlibat dalam pembiayaan proses politik dengan harapan dapat mengambil balik keuntungan.

"Kalau dilihat data majalah Forbes, 40 orang terkaya Indonesia itu hampir semuanya masuk ke parpol. Di mana calon-calon dari parpol mereka ongkosi. Duitnya mengalir ke orang-orang fungsionaris parpol. Tentu mereka mau melanggengkan sistem politik lewat pembiayaan politik," tandasnya.


>>> Ayo Ikutan Kontes Humor JOKES.WEB.ID <<<



Tidak ada komentar:

Posting Komentar