Beberapa bulan terakhir, kata ”blusukan” tiba-tiba menjadi sangat
populer di telinga kita. Harus diakui, peran Jokowi sebagai media
darling sangat kental dalam hal ini.
Kalau kita google kata
tersebut, dalam 0,19 detik muncul 1,37 juta link. Kata ”blusukan”
seolah naik kasta, dari sekadar bahasa informal di kampung-kampung Jawa
menjadi istilah penting kebijakan publik.
Dalam bahasa Jawa,
”keblusuk” berarti ”tersesat ”. Maka ”blusukan” berarti ”sengaja
menyesatkan diri untuk mengetahui sesuatu”. Fenomena ini menjadi
semakin menarik ketika Presiden SBY melakukan hal serupa beberapa hari
lalu. Meskipun diberi istilah turun ke bawah atau turba, esensinya
tetap sama, bertemu langsung dengan rakyat dan melihat keadaan di
lapangan.
Dalam konteks kebijakan publik, pertemuan tersebut
sangatlah penting. Ia berperan sebagai wahana bagi pemimpin untuk
menangkap aspirasi rakyat secara langsung. Ia bisa mengurangi panjang
rantai birokrasi sebagai penyebab agency problem, saat anak buah
sebagai agent di lapangan berupaya mengambil keuntungan untuk dirinya
ketika pimpinan tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
Agency
problem dalam keseharian tidak selalu menampakkan diri dalam bentuk
manfaat finansial, tetapi juga bisa berwujud bureaucracy inertia atau
keengganan birokrasi untuk melakukan tugasnya; birokrasi yang malas dan
santai.
Dalam konteks good governance, turba atau blusukan juga
mengurangi peran para policy entrepreneur , yaitu mereka yang hidup
seperti benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan.
Entrepreneur jenis ini berperan sebagai penghubung antarkelompok
kepentingan dengan para pengambil keputusan. Dengan mengatasnamakan
kepentingan rakyat, mereka berupaya mengegolkan berbagai kebijakan yang
menguntungkan kelompoknya.
Awal dan akhir
Meskipun
penting, blusukan hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Ia merupakan
bagian kecil di awal dari proses mendapatkan inspirasi untuk menyusun
rencana kerja dan di akhir sebagai ajang untuk memantau hasil kinerja
birokrasi di lapangan. Namun, permasalahan pemerintah lebih dari itu.
Dalam
siklus perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan
(planning, organizing, actuating, controlling), blusukan hanya merupakan
bagian sangat awal dari proses perencanaan dan sangat akhir dari
pengontrolan. Ia menjadi masukan awal untuk menyusun rencana sekaligus
bagian akhir untuk melihat hasil di lapangan.
Dalam konteks ini,
masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan. Dari penyusunan
anggaran, pelaksanaan di lapangan, hingga proses pemantauan memerlukan
peran para elite, baik itu tokoh partai politik, birokrasi, maupun
kalangan bisnis. Dialog dengan para elite tersebut perlu dibangun. Dalam
konteks ini, selain melakukan blusukan tipe satu (blusukan ke
masyarakat), pemimpin juga harus melakukan blusukan tipe dua, yaitu
blusukan kepada para elite untuk mendapatkan dukungan.
Di Amerika
Serikat, tugas utama Presiden Obama adalah menelepon para politisi agar
gagasannya mendapat dukungan. Misalnya, untuk memuluskan kebijakan
terkait debt ceiling, fiscal cliff, dan Obamacare , dia secara aktif
melobi para lawan politiknya dengan menelepon anggota kongres satu
persatu.
Di Indonesia, apa yang dilakukan Jusuf Kalla (JK) perlu
menjadi catatan penting. Dari informasi yang saya terima, JK tidak hanya
sangat aktif blusukan di lapangan, tetapi juga di kalangan para elite.
Dalam
satu kesempatan, JK pernah mengatakan, dukungan jutaan rakyat
diperlukan untuk memenangi pemilu dan menjadi pemimpin, tetapi untuk
menjalankan roda pemerintahan secara efektif diperlukan dukungan sekitar
500 elite saja. Maka, JK pun memiliki 500 nomor kontak para elite
tersebut dan secara rutin blusukan melalui pembicaraan telepon dan SMS,
terkadang dilanjutkan dengan sarapan pagi.
Dampaknya, berbagai
permasalahan besar seperti perdamaian di Aceh, Ambon, dan Poso, juga
kenaikan harga BBM dan konversi minyak tanah ke elpiji bisa diselesaikan
tanpa keributan.
Dalam konteks ini, blusukan tipe satu yang
dilakukan Pak SBY ataupun Pak Jokowi perlu dilanjutkan dengan blusukan
tipe dua. Sayangnya, hal tersebut belum dilaksanakan optimal sehingga
berbagai ide bagus hasil blusukan belum tentu masuk rencana kerja
pemerintah.
Manfaat besar
Manfaat blusukan
sebenarnya tidak kecil, tetapi cukup banyak pihak yang buru-buru mencap
blusukan sebagai upaya pencitraan. Mungkin sebagian besar masyarakat
sudah jenuh dengan ulah para politisi dan calon kepala daerah yang
hanya mendekati konstituen mereka menjelang pemilihan. Setelah
terpilih, rakyat tidak lagi dihampiri.
Fenomena blusukan saat ini
sedikit lain karena terjadi saat periode kepemimpinan berlangsung.
Apakah aktivitas itu sekadar pencitraan atau benar untuk mewujudkan
aspirasi rakyat, bisa dideteksi melalui tiga hal berikut. Pertama,
politisi dan pejabat publik mempunyai path dependence, tidak mudah bagi
mereka mengubah gaya. Apabila pada masa lalu ia tidak dekat dengan
rakyat, saat blusukan pasti ada yang aneh. Misalnya, bahasa tubuh dan
bahasa tuturnya tidak pas dengan situasi. Kalau ini yang terjadi, bisa
jadi yang dilakukan cuma pencitraan.
Yang kedua, ada keterkaitan
kuat antara bidang yang menjadi tanggung jawabnya dan aktivitas
blusukan yang dilakukan. Apabila tidak terlalu terkait, patut diduga
blusukan tidak lebih dari upaya membangun citra.
Yang terakhir,
upaya pencitraan biasanya hanya berhenti di media tanpa realisasi
nyata. Berbagai janji pejabat saat blusukan, apabila tidak diikuti
dengan program kerja yang jelas dan terukur, tentu bisa ditebak
arahnya. Manusia tidak hidup di atas tumpukan sensasi, tetapi prestasi.
Blusukan
menjanjikan hal positif bagi perbaikan pemerintah dan birokrasi. Ia
tidak saja menjadi sumber inspirasi para pemimpin sebagai ”seniman
kebangsaan” yang harus mencari inspirasi dari rakyat dan mewujudkannya
untuk rakyat, tetapi juga berpotensi memperbaiki birokrasi kita yang
cenderung malas dan tidak memosisikan diri sebagai abdi rakyat.
Sayang,
justru blusukan sebagai upaya pencitraan terasa semakin kuat sehingga
tidak terlalu banyak tokoh yang memanfaatkannya sebagai aktivitas demi
kepentingan publik.
Para pemimpin dan pejabat sudah selayaknya
tidak ragu lagi meniru langkah Jokowi, JK, ataupun SBY. Tidak perlu
terlalu khawatir jika upaya tersebut dicurigai sebagai pencitraan karena
terdapat perbedaan yang jelas antara pencitraan dan kerja keras untuk
memakmurkan rakyat. Waktu akan membuktikan, mereka yang blusukan untuk
tujuan pencitraan semata akan keblusuk atau tersesat betulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar