Senin, 01 April 2013

Gudeg Pawon, Menikmatinya Langsung di Dapur

tendangNews - Menikmati sepiring nasi putih panas yang diguyur gudeg, dibubuhi sambal rambak dan sepotong daging ayam ataupun telur, tentu lazim dilakukan di Yogyakarta. Namun, menyantapnya di tengah malam, langsung di dapur tempat nasi dan kawan-kawannya itu dimasak, tentu istimewa.

Kami melakukannya di awal pekan ini. Malam terasa dingin karena Yogyakarta sempat disiram gerimis. Jalanan kota mulai sepi. Namun di mulut sebuah gang kecil di Jalan Janturan, Warungboto, Umbulharjo, Kota Yogyakarta, keramaian baru saja dimulai. Beberapa mobil dan motor berjejer di muka sebuah rumah.

Ya, rumah itu, tepatnya dapur di dalamnya, yang mereka tuju. Inilah salah satu lokasi makan gudeg legendaris di Yogyakarta. Di sini tak ada kursi dan meja makan lazimnya tempat penjual gudeg lainnya.

Di bagian mukanya hanya tampak meja kayu sederhana yang di atasnya terdapat jeruk peras, teh, dan wedang uwuh.

Hanya sebuah papan nama kecil yang digantung, bertuliskan 'Gudeg Pawon, Selera Nusantara Buka Jam 22.30', yang menjadi penanda mengapa rumah itu istimewa.

Di muka rumah memang hanya tampak aktivitas meracik minuman. Namun, di samping itu, kehebohan telah terjadi. Antrean pembeli mengular, lebih dari 10 orang. Kami pun mengantre hingga 15 menit sebelum akhirnya sampai di pintu dapur nan ikonis itu.

Lima dekade
Gudeg Pawon, kata Sumarwanto, 52, yang mengelola Gudeg Pawon saat ini, dirintis almarhumah ibunya, Prapto Widarso. “Sudah sejak 1958 ibu berjualan,” ungkap Sumarwanto.

Penamaan Gudeg Pawon, yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Gudeg Dapur', didapat dari pembeli. Di sini, jika bertandang langsung ke dapur pun kita akan dilayani di antara jajaran panci, tungku kayu bakar yang menyala-nyala, serta kesibukan Sumarwanto dan timnya memasak.

Setelah sepiring nasi, gudeg, dan kerabat menu lainnya didapat, kami mencari tempat bersantap. Bisa lesehan di teras rumah, di depan dapur, juga makan langsung di dapur.

"Dulunya, ibu berjualan di Pasar Sentul pukul tiga pagi. Pukul dua belas (malam) sudah masak. Namun, sebelum dijual ke pasar, para pembeli sudah banyak datang ke rumah untuk makan. Awalnya mereka datang ke rumah pukul tiga pagi. Lama-kelamaan, pembeli makin banyak dan datang lebih awal, pukul dua belas sudah datang. Bahkan sering, gudeg yang hendak dijual di pasar habis," kata Sumarwanto.

Mulai 2000, Prapto Widarso memutuskan hanya berjualan gudeg di rumah, tidak lagi di pasar. Sang ibu pun berjualan lebih awal, yaitu sekitar pukul 22.30 WIB.

Namun, karena pembeli yang datang semakin banyak dan mereka mengaku datang dari jauh, waktu buka dipercepat dari jadwal yang tertulis. Sejak pukul sepuluh malam, pembeli sudah bisa menyantap Gudeg Pawon, walau di papan pengumuman tetap tertulis Gudeg Pawon buka pukul 22.30. “Jam sepuluh malam kami sudah buka untuk memudahkan mereka yang datang dari jauh karena sejak pukul 21.00 sudah ada yang datang,” ungkap Sumarwanto.

Gudeg Pawon termasuk jenis basah. Di Yogyakarta, memang ada pula gudeg kering yang tak menyisakan kuah saat disajikan. Karakter itu dipertahankan Sumarwanto. Kendati sang ibu meninggal tiga tahun lalu, resep, cara memasak, hingga kondisi dapur tetap dipertahankan.
"Dari dulu memang gudegnya gurih. Peninggalan orangtua jangan diutak-atik," kata Sumarwanto.

Di dapur berukuran 7x9 meter yang dinding-dindingnya menghitam karena jelaga, salah satu kekayaan tradisi kuliner Yogyakarta itu dipelihara. Di sana, nasi tetap ditanak dengan tungku kayu bakar.

Warga lokal dan pelancong
Sukanto, 56, warga Yogyakarta yang lebih dari 20 tahun rutin kembali ke Gudeg Pawon, mengaku setiap kunjungannya selalu sama. Cita rasa tak pernah berubah.

"Hanya lokasi parkirnya yang sekarang lebih dikelola. Saya memang suka rasa gudeg yang lebih segar dan terasa lebih nikmat kalau setelah dimasak langsung kita bisa makan, bahkan langsung di dapurnya," kata Sukanto yang mengaku selalu datang bersama rombongan. Suasana dapur membuat mereka asyik berlama-lama mengobrol sambil bersantap.

"Saya datang biasanya di atas jam sebelas malam seperti ini. Istilahnya, pancal kemul atau makan sebelum tidur," kata Sukanto.

Bukan cuma warga Yogyakarta, Gudeg Pawon juga sukses memikat pelancong. Salah satunya, Yuni, 34, warga Balikpapan yang bertandang ke Gudeg Pawon untuk kedua kalinya dalam kunjungan tiga harinya ke Yogyakarta. "Rasanya tidak terlalu manis dan karena di dapur, rasanya lebih fresh," ungkap Yuni.

Kendati telah lazim menjadi bagian aktivitas wisata kuliner para pelancong, di sini seporsi nasi yang diguyur gudeg cukup dihargai Rp6.000. Jika ditambah telur, Rp8.000. Buat yang menambah ayam, harganya Rp15 ribu.

Ingin mencoba? Jangan lewat tengah malam! Karena, lazimnya gudeg pawon tandas sebelum pukul satu malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar