tendangNews - Menikmati sepiring nasi putih panas yang diguyur gudeg, dibubuhi
sambal rambak dan sepotong daging ayam ataupun telur, tentu lazim
dilakukan di Yogyakarta. Namun, menyantapnya di tengah malam, langsung
di dapur tempat nasi dan kawan-kawannya itu dimasak, tentu istimewa.
Kami melakukannya di awal pekan ini. Malam terasa dingin karena
Yogyakarta sempat disiram gerimis. Jalanan kota mulai sepi. Namun di
mulut sebuah gang kecil di Jalan Janturan, Warungboto, Umbulharjo, Kota
Yogyakarta, keramaian baru saja dimulai. Beberapa mobil dan motor
berjejer di muka sebuah rumah.
Ya, rumah itu, tepatnya dapur di dalamnya, yang mereka tuju. Inilah
salah satu lokasi makan gudeg legendaris di Yogyakarta. Di sini tak ada
kursi dan meja makan lazimnya tempat penjual gudeg lainnya.
Di bagian mukanya hanya tampak meja kayu sederhana yang di atasnya terdapat jeruk peras, teh, dan wedang uwuh.
Hanya sebuah papan nama kecil yang digantung, bertuliskan 'Gudeg Pawon,
Selera Nusantara Buka Jam 22.30', yang menjadi penanda mengapa rumah itu
istimewa.
Di muka rumah memang hanya tampak aktivitas meracik minuman. Namun, di
samping itu, kehebohan telah terjadi. Antrean pembeli mengular, lebih
dari 10 orang. Kami pun mengantre hingga 15 menit sebelum akhirnya
sampai di pintu dapur nan ikonis itu.
Lima dekade
Gudeg Pawon, kata Sumarwanto, 52, yang mengelola Gudeg Pawon saat ini,
dirintis almarhumah ibunya, Prapto Widarso. “Sudah sejak 1958 ibu
berjualan,” ungkap Sumarwanto.
Penamaan Gudeg Pawon, yang dalam bahasa Indonesia berarti 'Gudeg Dapur',
didapat dari pembeli. Di sini, jika bertandang langsung ke dapur pun
kita akan dilayani di antara jajaran panci, tungku kayu bakar yang
menyala-nyala, serta kesibukan Sumarwanto dan timnya memasak.
Setelah sepiring nasi, gudeg, dan kerabat menu lainnya didapat, kami
mencari tempat bersantap. Bisa lesehan di teras rumah, di depan dapur,
juga makan langsung di dapur.
"Dulunya, ibu berjualan di Pasar Sentul pukul tiga pagi. Pukul dua belas
(malam) sudah masak. Namun, sebelum dijual ke pasar, para pembeli sudah
banyak datang ke rumah untuk makan. Awalnya mereka datang ke rumah
pukul tiga pagi. Lama-kelamaan, pembeli makin banyak dan datang lebih
awal, pukul dua belas sudah datang. Bahkan sering, gudeg yang hendak
dijual di pasar habis," kata Sumarwanto.
Mulai 2000, Prapto Widarso memutuskan hanya berjualan gudeg di rumah,
tidak lagi di pasar. Sang ibu pun berjualan lebih awal, yaitu sekitar
pukul 22.30 WIB.
Namun, karena pembeli yang datang semakin banyak dan mereka mengaku
datang dari jauh, waktu buka dipercepat dari jadwal yang tertulis. Sejak
pukul sepuluh malam, pembeli sudah bisa menyantap Gudeg Pawon, walau di
papan pengumuman tetap tertulis Gudeg Pawon buka pukul 22.30. “Jam
sepuluh malam kami sudah buka untuk memudahkan mereka yang datang dari
jauh karena sejak pukul 21.00 sudah ada yang datang,” ungkap Sumarwanto.
Gudeg Pawon termasuk jenis basah. Di Yogyakarta, memang ada pula gudeg
kering yang tak menyisakan kuah saat disajikan. Karakter itu
dipertahankan Sumarwanto. Kendati sang ibu meninggal tiga tahun lalu,
resep, cara memasak, hingga kondisi dapur tetap dipertahankan.
"Dari dulu memang gudegnya gurih. Peninggalan orangtua jangan diutak-atik," kata Sumarwanto.
Di dapur berukuran 7x9 meter yang dinding-dindingnya menghitam karena
jelaga, salah satu kekayaan tradisi kuliner Yogyakarta itu dipelihara.
Di sana, nasi tetap ditanak dengan tungku kayu bakar.
Warga lokal dan pelancong
Sukanto, 56, warga Yogyakarta yang lebih dari 20 tahun rutin kembali ke
Gudeg Pawon, mengaku setiap kunjungannya selalu sama. Cita rasa tak
pernah berubah.
"Hanya lokasi parkirnya yang sekarang lebih dikelola. Saya memang suka
rasa gudeg yang lebih segar dan terasa lebih nikmat kalau setelah
dimasak langsung kita bisa makan, bahkan langsung di dapurnya," kata
Sukanto yang mengaku selalu datang bersama rombongan. Suasana dapur
membuat mereka asyik berlama-lama mengobrol sambil bersantap.
"Saya datang biasanya di atas jam sebelas malam seperti ini. Istilahnya, pancal kemul atau makan sebelum tidur," kata Sukanto.
Bukan cuma warga Yogyakarta, Gudeg Pawon juga sukses memikat pelancong.
Salah satunya, Yuni, 34, warga Balikpapan yang bertandang ke Gudeg Pawon
untuk kedua kalinya dalam kunjungan tiga harinya ke Yogyakarta.
"Rasanya tidak terlalu manis dan karena di dapur, rasanya lebih fresh,"
ungkap Yuni.
Kendati telah lazim menjadi bagian aktivitas wisata kuliner para
pelancong, di sini seporsi nasi yang diguyur gudeg cukup dihargai
Rp6.000. Jika ditambah telur, Rp8.000. Buat yang menambah ayam, harganya
Rp15 ribu.
Ingin mencoba? Jangan lewat tengah malam! Karena, lazimnya gudeg pawon tandas sebelum pukul satu malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar